Ultras diambil dari bahasa latin
yang mengandung artian 'di luar kebiasaan'. Kalangan ultras tidak pernah
berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama
pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan
berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti
Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut
stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang
api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari
perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.
“As an ultra I identify myself with
a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of
our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering
much more acutely than everybody else “.
Nukilan kalimat dari seorang anggota
Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali
fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa
melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara
sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi
emosionalnya pada klub yang mereka dukung.
Ultras mempelopori suporter yang
amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang
kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu
mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter
Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan
suporter Skotlandia ‘Tartan Army’
Model tersebut masyhur karena
menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang
terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan
bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta
koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang
menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.
Dalam tradisi calcio, ultras adalah
“baron” dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun
stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan
sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord
(utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian.
Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling
berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak
diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.
Kelompok Ultras yang pertama lahir
adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada
tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival,
Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian
berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras
sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi
megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.
Fenomena ultras sendiri diilhami
dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat
ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya
ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki
basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub
yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti facism,
dankomunism socialism
Mayoritas ketegangan antar suporter
disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan.
Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya
Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar
ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika
itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan
diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun paratifosi
itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk
lapor polisi.
Dewasa ini, ultras kerap dipandang
sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik
1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut
sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian
lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian
bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu
dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan
kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!
Bentrok dengan polisi menjadi salah
satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias
A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim
dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra
dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi.
Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan
dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.
Tak hanya polisi, manajemen klub,
staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak
menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya
(terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket
gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan
dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.
Namun sebenarnya ultras tidak
seseram yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris.
Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka
nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang ada
yang kanan, kiri, merah, dsb...Tapi yang tidak bermain politik juga ada.
Pelatih atau manajer yang mundur
(bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan
ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik
dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena
dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.
Dengan kemegahan dan kesuramannya
ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan
identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat
dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di
dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi
suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.
Suporter Indonesia Rasa Ultras
Suporter di Indonesia sedang berada
dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul
kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat
positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini
sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di lapangan.
Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih
semarak dan berwarna.
Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif
kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski
di kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk
budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras
Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia)
dan tentunya Italian Ultras!
Kentalnya budaya ultras bisa dilihat
dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai
dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang.
Namun yang konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras
Persija,Orange Street Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM
Jogjakarta), sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun
tengah menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak
juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang
dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter berdiri 90 menit
dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu
kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari nilai2
ultras... saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian dari nilai2
ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu juga bagian dari
nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang jika tidak diserang
terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak diperlukan
Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur
dengan budaya kita sendiri... terkadang beberapa komunitas di dalam suporter
Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka
dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu
pemahaman akan arti ultras oleh mereka...(narsisme)… Di Luar Negri
(Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau
bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti
kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan
Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok
sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan
Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI
SEORANG manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya
maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR...Team Sepakbola yang saya dukung Bisa
didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA
MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih dari satu
team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa
dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU
(PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus wadah
tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter)
melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris segala.
Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit
politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba
ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll
Nah kalo ultras di Indonesia itu
yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas
ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki
AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan
suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang
merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai
julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua suporter
Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua klub punya julukan
bagi suporter mereka.
Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang
sohor itu adalah manifestasi seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang
CapoTifoso, apabila ia memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan
dipatuhi oleh suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi
pemain lawan dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka
tidak ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang
berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia
"hanya" memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau
nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin
seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang indah..
Belum lagi kostum yang terkoordinir,
dan bentangan spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada
suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis
prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak
bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah
kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!
Seorang Ultras sejati tidak memiliki
nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak
dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan
mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode
dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati
tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.
Seorang Ultra sejati hanya menyerang
jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak
akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan
selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.
Ultra tua akan memimpin dan
memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat
kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan
yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat
jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.
Saat orang normal melihat tingkah
laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin
dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada
yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan
keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara
individu.
Kendati berbeda, satu hal yang
membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk
berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan
menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur
setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan
tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi
sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi
sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme,
bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
Semua hal diatas menyatukan kami
sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang
khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari
guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan
vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari
hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh,
disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif
yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).
Menjadi Ultra adalah seperti ini dan
masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada
orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala
dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk
menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!
Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini
sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan banyaknya
tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia.
Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa
ultras memiliki arti 'garis keras' yang selalu di indentikkan dengan
hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka
hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan
benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.
Perlu sedikit diluruskan mengenai
makna kata 'ultras' sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama
dengan kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri
berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan
dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk
jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti 'yang ter-'. 'yang paling'.
'melebihi yang lain', atau 'lebih dari biasa'. Bila dihubungkan dengan konteks
supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter yang memiliki
fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan
Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti 'perusuh' atau 'suka berbuat
onar'.
Ciri2 kelompok supporter Ultras
adalah Selalu bernyanyi mendukung kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim
mereka baik dikandang sendiri maupun dikandang lawan, dan tak pernah
meninggalkan tim kebanggannya baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2
kelompok ultras
sendiri bisa dikatakan bahwa hampir
semua kelompok supporter di Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The
Jak itu ultras, Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras.
Walau mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah
ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan
mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter (termasuk
kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama kelompok mereka.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras
dan Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda
pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah
hooligans..!!
HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang
brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif
supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia
termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para
backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit
dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam
sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim
pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski
demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata
dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara
yang dilakukan oleh sekelompok banci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar